Rabu, 24 September 2014

700 Bakteri Baik Ditemukan Dalam ASI

Apakah Anda tahu? Air Susu Ibu (ASI) ternyata menjadi tempat pertama bagi seorang bayi untuk melakukan kontak dengan organisme yang sangat bermanfaat bagi tubuhnya.
700 Bakteri Baik Ditemukan Hidup dalam ASI 700 Bakteri Baik Ditemukan Hidup dalam ASI
Menurut temuan para ilmuwan, ASI mengandung 700 jenis bakteri baik lebih banyak dari yang semula diperkirakan. Peran pasti bakteri tersebut memang belum jelas, tetapi keragaman mikroba berdampak positif karena akan membantu bayi mencerna susu hingga meningkatkan kekebalan tubuhnya.
Mikroba dalam ASI telah dipetakan oleh para peneliti menggunakan teknik peruntunan DNA yang dikenal dengan pyrosequencing. Lewat teknik ini para ilmuwan bisa mengenali berbagai jenis bakteri dengan melihat variasi DNA-nya.
Para peneliti menguji contoh kolostrum (ASI pertama yang keluar setelah melahirkan), dan contoh ASI pada bulan pertama hingga keenam pasca persalinan. Pada beberapa sampel dikenali bakteri yang biasa terdapat di mulut seperti Veillonella, Leptortrichia, dan Prevotella.
“Kami belum bisa menentukan apakah bakteri ini berkoloni di mulut bayi atau bakteri oral dari bayi masuk ke ASI sehingga mengubah komposisinya,” kata Maria Carmen Collado, peneliti Spanyol yang melakukan riset ini, seperti dikutip dari National Geographic Indonesia.
Penemuan lain yang dihasilkan adalah bahwa ASI juga dipengaruhi oleh berat badan ibu dan cara persalinan. Ibu yang melahirkan lewat operasi caesar memiliki keragaman bakteri lebih sedikit dibanding yang melahirkan secara normal.
“Jika bakteri yang berada dalam ASI ternyata sangat penting untuk kekebalan tubuh, maka penambahannya dalam susu formula mungkin akan menurunkan risiko alergi, asma, dan penyakit autoimun,” kata peneliti.
Sementara itu, pengembangan penelitian selanjutnya akan berfokus untuk menemukan strategi nutrisi bagi bayi yang tidak bisa mendapat ASI. Karena sampai saat ini belum ada susu formula yang bisa menyamai ASI.

Waluh Bantu Sehatkan Penderita Diabetes

Menurut penelitian terbaru, labu merah atau yang dikenal dengan sebutan waluh, memang memiliki rasa manis, namun ternyata mampu menyehatkan penderita diabetes.
Waluh Bantu Sehatkan Penderita Diabetes Lho Waluh Bantu Sehatkan Penderita Diabetes, Lho!
Sayuran dari genus Cucurbita moschata ini, memiliki indeks glikemik (GI) yang sangat rendah. Nah, makanan yang memiliki indeks glikemik tinggi justru akan meningkatkan kadar gula dalam darah. Oleh sebab itu, waluh sangat baik untuk penderita diabetes, menurut laporan Boldsky.com.
Selain itu, waluh juga mampu memperbaiki fungsi pankreas. Sayuran ini mengembalikan fungsi pankreas dengan memperbaiki jaringan yang dirusak oleh diabetes.
Bila pankreas tidak berfungsi dengan baik, maka pankreas akan mengalami kesulitan untuk memproduksi insulin, padahal insulin sangat dibutuhkan tubuh untuk memecah glukosa dalam tubuh.
Cara mengolah waluh untuk penderita diabetes juga harus diperhatikan. Sayuran itu bisa dimasak menggunakan bumbu seperti kayu manis dan biji pala. Dua bumbu dapur ini termasuk bumbu yang ramah terhadap penderita diabetes.
Selain itu, jangan tambahkan gula ke dalam bahan olahan labu. Menambahkan gula sama saja dengan menghancurkan fungsi utama waluh untuk menyehatkan penderita diabetes.
Terakhir, jangan olah waluh dengan cara digoreng. Minyak goreng hanya akan menambahkan kalori dan merusak nutrisi yang terkandung di dalam waluh. Cobalah untuk mengolah waluh dengan cara dipanggang, dikukus, atau direbus.

Awas, Soft Drink Tingkatkan Resiko Kanker Prostat

Pria yang doyan konsumsi minuman bersoda tidak hanya merusak gigi mereka, tetapi juga bisa berisiko terkena kanker prostat agresif.
sofdrink Awas, Soft Drink Tingkatkan Risiko Kanker Prostat
Sebuah studi di Swedia menemukan bahwa satu minuman ringan sehari bisa meningkatkan risiko mengembangkan bentuk-bentuk yang lebih serius dari kanker prostat hingga 40 persen, demikian laporan Dailymail.co.uk.
Para ahli di Lund University juga menemukan bahwa mereka yang memiliki pola makan karbohidrat berat dalam nasi dan pasta bisa meningkatkan risiko terkena bentuk ringan dari kanker prostat, hingga 31 persen.
Dan, banyak makan sereal manis saat sarapan juga mengangkat risiko bentuk yang lebih ringan dari kanker prostat hingga 38 persen
Kanker prostat adalah kanker kedua yang paling umum diderita pada pria setelah penyakit paru-paru. Studi ini meneliti lebih dari 8.000 pria berusia antara 45-73 tahun selama rata-rata 15 tahun.

Jangan Merasa Bebas Diabetes Sebelum Tahu Gejalanya

Diabetes bisa menyerang orang dari segala usia. Bahkan dengan gejala-gejala yang mungkin tidak pernah disadari penderitanya.
Jangan Merasa Bebas dari Diabetes Sebelum Mengetahui Gejalanya Jangan Merasa Bebas Diabetes Sebelum Tahu Gejalanya
Menurut sebuah survey, sekitar 1 dari 3 orang dengan diabetes tipe 2 tidak tahu mereka mengalami penyakit tersebut. Diabetes dapat terjadi akibat tingginya kadar gula darah.
Kelebihan gula darah dalam tubuh tidak hanya mengakibatkan penderita mengalami diabetes, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit jantung, kehilangan penglihatan, kerusakan saraf dan organ, dan kondisi serius lainnya.
Berikut beberapa gejala diabetes yang jarang diperhatikan oleh para penderita, seperti dilansir Menshealth:
Sering Haus
Salah satu gejala yang paling umum saat seseorang terkena diabetes adalah peningkatan rasa haus. Biasanya rasa haus tersebut diiringi dengan mulut kering, nafsu makan meningkat, sering buang air kecil tengah malam, dan penurunan berat badan secara drastis.
Sakit Kepala
Ketika gula darah mulai meningkat hingga di atas batas normal, gejala-gejala tambahan mulai terjadi, seperti sakit kepala, pandangan mulai kabur, dan mudah lelah.
Infeksi
Pada beberapa kasus, gejala diabetes tidak dapat terdeteksi sampai di saat penderita mengalami beberapa gejala seperti, luka di permukaan kulit yang tidak kunjung sembuh, infeksi saluran kemih, gatal-gatal pada kulit terutama di daerah selangkangan.
Disfungsi Seksual
Gangguan seksual adalah gejala paling umum pada penderita diabetes. Diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan ujung saraf pada organ seksual, sehingga membuat penderita sulit ereksi dan orgasme.
Diperkirakan antara 35% hingga 70% pria dengan diabetes mengalami impotensi. Dan sekitar 1 dari 3 wanita dengan diabetes mengalami beberapa masalah dalam kehidupan seksual mereka.
Gaya Hidup ‘tak Sehat
Gaya hidup tak sehat juga berperan besar meningkatkan risiko diabetes. Gaya hidup tersebut meliputi, jarang berolahraga, merokok, mengonsumsi makanan tinggi lemak dan berkolesterol tinggi.
Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dicegah
Ada pula beberapa faktor risiko yang bersifat genetik yang dapat meningkatkan risiko diabetes, diantaranya:
  • Ras tertentu. Ras-ras tertentu seperti Hispanik, Afrika-Amerika, penduduk asli Amerika, dan Asia memiliki risiko lebih tinggi dari ras lainnya di dunia.
  • Riwayat Keluarga. memiliki orang tua atau silsilah kelaurga yang pernah mengalami diabetes juga meningkatkan risiko diabetes.
  • Usia. Diabetes juga berisiko tinggi bagi orang-orang berusia di atas 44 tahun.
Gestational Diabetes
Adalah kondisi gula darah yang tinggi yang terjadi pada masa kehamilan, dan terjadi pada orang yang tidak menderita diabetes. Jika kondisi ini berlanjut di kemudian hari maka, wanita tersebut akan berisiko diabetes. Memiliki riwayat sindrom ovarium polikistik juga dapat menyebabkan resistensi insulin yang dapat memicu diabetes.

Sirup Jagung Aman untuk Dikonsumsi?

Hampir dalam setiap produk makanan, gula tambahan sering digunakan sebagai pemanis untuk produk makanan yang bersangkutan. High Fructose Corn Syrup (HFCS) atau sirup jagung fruktosa tinggi adalah salah satu contoh gula tambahan yang sering terdapat pada label nutrisi kemasan makanan.
Di Amerika high fructose corn syrup sudah digunakan sejak akhir tahun 70’ an dan 80’ an. Produk ini digunakan secara luas dalam kemasan makanan seperti minuman bersoda, sereal, biskuit dan berbagai makanan olahan lainnya.
High fructose corn syrup merupakan campuran dari fruktosa dan glukosa cair dengan kapasitas penggunaan yang lebih stabil dan lebih murah daripada gula tebu, sehingga banyak produsen makanan yang menggunakan high fructose corn syrup sebagai gula tambahan dalam produk mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Amerika Serikat menganggap bahwa sirup jagung fruktosa tinggi merupakan penyebab dari permasalahan kesehatan yang mengganggu di AS seperti kasus obesitas pada anak-anak dan dewasa, diabetes, dan berbagai masalah kesehatan lain.
Penelitian yang dilakukan University of California dan Oxford University menunjukkan bahwa penggunaan gula jagung (HFCS) sebagai bahan pemanis makanan olahan dan softdrink berpengaruh para kenaikan jumlah kasus penyakit diabetes tipe 2 seperti yang dimuat dalam dimuat Jurnal Global Public Health.
Setelah dilakukan penelitian di 42 negara, para peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan kasus diabetes rata-rata 20% lebih tinggi pada negara yang menggunakan HFCS sebagai pemanis, dibandingkan negara-negara yang tidak menggunakan HFCS.
Michael I. Goran, MD , salah satu peneliti dari Institut Penelitian Diabetes dan Obesitas di Amerika menyatakan, “HFCS merupakan salah satu jenis gula yang dapat menyebabkan masalah kesehatan dalam skala global. Hasil dari penelitian ini menambah referensi ilmiah yang mengindikasikan konsumsi HFCS dapat berakibat buruk bagi kesehatan, dan lebih berbahaya daripada gula alami.”
Kandungan fruktosa tinggi yang terkandung dalam HFCS membuat tubuh rentan sekali terhadap penimbunan lemak. Ini terjadi karena perbedaan tubuh dalam mencerna fruktosa dan glukosa, sehingga dapat meningkatkan risiko obesitas.
Goran memprediksi jika pada 2030 nanti jumlah orang di dunia mengonsumsi HFSC tidak mengalami penurunan, maka diperkirakan sebanyak 8% penduduk dunia akan berisiko meninggal akibat penyakit diabetes tipe 2.
Oleh karena itu, agar terhindar dari obesitas dan penyakit diabetes, sebaiknya kurangi segala bentuk penggunaan pemanis buatan secara berlebihan yang ada dalam minuman ataupun makanan ringan.

Mengenal Disleksia Sejak Dini


Memiliki anak yang mahir membaca, menulis, mengeja, dan berhitung saat bersekolah tentu menjadi harapan setiap orang tua. Kenyataannya, beberapa anak terbata-bata saat membaca atau memakan waktu lama kala mengeja kata. Sementara anak-anak lain mampu membaca atau mengeja dengan lancar. Jika mendapati anak dengan kondisi itu, orang tua perlu curigai. Bisa jadi sang anak menderita disleksia.

Disleksia merupakan kondisi ketidakmapuan belajar pada anak. Tandanya, anak kesulitan mengenali kata dengan tepat, tidak akurat dalam mengeja dan mengodekan simbol. Juga sulit mengingat huruf atau angka, susah menulis, mengalami keluhan gangguan konsentrasi, serta mudah lupa.

Pengajar psikolinguistik di Departemen Linguistik Universitas Indonesia, Harwintha Yuhria Anjarningsih mengatakan, gangguan kesulitan belajar ini bukan karena anak kurang kecerdasan atau kesalahan dalam pengajaran. “Melainkan karena masalah defisit fonologis, yakni ketidakmampuan anak memahami pemetaan antara grafem atau huruf, dan fonem atau bunyi,” ujarnya kepada Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia, Sabtu, 6 September 2014.

Contohnya, penyandang disleksia sulit membedakan antara ‘paku’ dengan ‘palu’. Atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ‘lima puluh’ dengan ‘lima belas’. Kesulitan ini bukan disebabkan masalah pendengaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.

Peraih gelar doktor linguistik dari Rijksuiversiteit Groningen, Belanda itu mengatakan, mengenali disleksia sejak dini sangat penting bagi orang tua dan guru. Dengan begitu, si penderita mampu keluar dari kesulitan dan bisa bersekolah dengan baik seperti anak-anak seusianya. “Sayang, Indonesia belum mempunyai sistem resmi untuk mengenali dan membantu penderita disleksia,” kata dia.

Tapi sebenarnya banyak cara untuk membantu pengidap disleksia. Para ahli percaya penerapan metode pengajaran kreatif menggunakan alat peraga dan perangkat teknologi bisa membantu anak mengejar ketertinggalan. Juga intervensi khusus melalui pendekatan konseling pada anak.

Disleksia juga bisa teratasi dengan berusaha keras dan latihan secara terus-menerus sesuai minat si anak. “Atau dengan melatih indera peraba dan mengeskplorasi bidang yang dia kuasai,” kata dia. “Pun mengintervensi anak dengan berlatih menulis di atas laptop.”

Ketika di rumah, Harwintha menyarankan, orang tua dan orang terdekat selalu mendukung anak disleksia dalam belajar. Juga menerapkan teknik pengajaran seperti mengenal huruf, melukis, mewarnai, dan menyusun kepingan puzzle. Ia yakin, cara ini mampu memotivasi dan menumbuhkan kreativitas anak.

Harwintha juga mengingatkan bila kepandaian tidak hanya bisa terukur dengan kemahiran membaca, menulis, dan berhitung. Sebab setiap anak memiliki kelebihan lain yang bisa tereksplorasi. “Anak-anak disleksia biasanya unggul di bidang lain seperti melukis, bermusik, atau berolahraga. Potensi inilah yang seharusnya digali orang tua dan guru,” ujarnya.

Selasa, 23 September 2014

Fungsi Bedong pada Bayi

Bedong (Swaddling) adalah cara membungkus bayi dengan selimut yang bertujuan untuk memberikan rasa hangat dan nyaman. Sebenarnya, membedong atau swaddling sudah dilakukan sejak lama oleh orangtua-orangtua kita dulu. Di banyak daerah di kawasan asia, membedong bayi baru lahir merupakan tradisi turun temurun, bahkan diselimuti hal-hal mistis seperti untuk melindungi bayi dari gangguan roh jahat. Saat ini, dunia kedokteran pun sudah membuktikan manfaat bedong bagi bayi.
Isu tersebut bukanlah sekedar isapan jempol. Ada banyak mitos seputar bedong yang kemudian menggiring para orangtua hingga membuat kesalahan-kesalahan fatal dalam proses membedong. Salah satu yang paling sering didengar adalah bahwa membedong penting untuk meluruskan kaki bayi, sehingga saat ia besar nanti kakinya tidak bengkok. Padahal, kaki bengkok pada bayi baru lahir adalah wajar. Mengingat selama di dalam rahim, ia seringkali berada pada posisi meringkuk, terutama di bulan-bulan terakhir ketika ruang di dalam rahim tak lagi luas bagi tubuhnya yang kian membesar. Kaki yang bengkok ini perlahan-lahan akan lurus dengan sendirinya seiring ia bertambah dewasa.
Mitos tersebut akhirnya membuat bayi-bayi dibedong dengan sangat ketat hingga tak bisa bergerak. Padahal bedong yang terlalu ketat meningkatkan resiko SIDS atau Sudden Infant Death Sindrom pada bayi. Karena bedong yang terlalu ketat membuat proses bernapas bayi terganggu. Selain itu, perkembangan motorik bayi juga bisa terhambat mengingat ia terikat hingga tidak dapat bergerak. Membedong dengan memaksa kaki bayi lurus juga beresiko bayi menderita hip dysplasia atau keadaan di mana formasi soket panggul bayi tidak normal.
Namun, selama bedong bayi tidak mengikatnya dengan ketat, melainkan hanya membungkusnya agar hangat, bedong memiliki banyak manfaat.
Selain pelukan, bedong adalah ‘replika’ yang paling mampu memberikan suasana mirip dengan saat ia masih di dalam rahim ibu. Di bulan pertama kehadirannya di dunia, bayi masih butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, maka tak heran kalau bayi cenderung rewel. Dengan bedong, bayi mendapatkan perasaan hangat, terlindungi dan terdekap layaknya di dalam rahim ibu. Bedong juga membantu bayi agar tidak terganggu dengan startle/moro reflex nya sendiri (reflek menghentakkan seluruh badan seperti sedang kaget). Dengan bedong, bayi juga tidak dapat mencakar mukanya, sesuatu yang sering kali dilakukan bayi baru lahir karena belum mampu mengendalikan anggota tubuhnya. Karena itu bedong membantu bayi lebih tenang, lebih mudah tertidur, dan tidurnya pun menjadi lebih nyenyak.
Tetapi perlu diingat, tidak semua bayi senang dibedong. Jika bayi Anda malah rewel ketika dibedong, jangan dipaksakan. Bedong bertujuan untuk memberi kenyamanan, jika bayi tidak merasa nyaman, maka bedong menjadi tidak perlu. Saat cuaca panas juga sangat tidak disarankan untuk membedong bayi. Keadaan overheat bagi bayi bisa mengganggu sistem pernapasannya.
Tak selamanya pula bayi butuh dibedong. Biasanya para orangtua berhenti membedong bayi di usia 1-2 bulan. Pada usia tersebut, bayi mulai banyak bergerak, dan bedong bisa menggangu gerakannya. Beberapa bayi juga mulai berguling ke samping di usia 2 bulan. Berguling dalam posisi masih dibedong akan sangat berbahaya bagi bayi.
Bayi yang sudah tidak mengalami startle/moro reflex juga sudah tak perlu dibedong. Itu menandakan bayi sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya. Penelitian juga menyebutkan bahwa membedong bayi di usia dua bulan ke atas tidak memberikan manfaat signifikan untuk meredakan tangisnya.
Tetapi, di sisi lain, ada beberapa bayi yang justru menjadi kecanduan bedong dan sulit tidur tanpa dibedong. Seiring usianya bertambah besar, longgarkan bedongnya, hingga perlahan-lahan benar-benar longgar dan bisa berhenti digunakan tanpa ia sadari.

Sumber : http://mybabybtw.com

Prosedur Resusitasi Jantung Paru/CPR

Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam, tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan dan lain-lain.
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ fital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen.
Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu GOLDEN PERIOD (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil.
Adapun pertolongan yang harus dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru/CPR.
Berdasarkan konvensi American Heart Association (AHA) terbaru pada tanggal 18 Oktober 2010, Prosedur CPR terbaru adalah sebagai berikut:
A. Kewaspadaan terhadap bahaya [DANGER]
Penolong mengamankan diri sendiri dengan memakai alat proteksi diri (APD). ALat proteksi yang paling dianjurkan adalah sarung tangan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari korban kepada penolong. Selanjutnya penolong mengamankan lingkungan dari kemungkinan bahaya lain yang mengancam, seperti adanya arus listrik, ancaman kejatuhan benda (falling object), Setelah penolong dan lingkungan aman maka selanjutnya meletakan korban pada tempat yang rata, keras, kering dan jauh dari bahaya.

B. Cek respons / penilaian kesadaran 
Cek kesadaran korban dengan memanggil dan menepuk bahunya. Jika dengan memanggil dan menepuk tidak ada respos, maka lakukan pengecekan kesadaran dengan melakukan Rangsangan Nyeri. lakukan rangsang nyeri dengan menekan tulang dada korban dengan cara penolong menekuk jari-jari tangan kanan, lalu tekan dengan sudut ruas jari-jari tangan yang telah ditekuk. Jika tidak ada respon dengan rangsany nyeri berarti korban tidak sadar dan dalam kondisi koma.

C. Panggil Bantuan / call for help 
Jika korban tidak berespons selanjutnya penolong harus segera memanggil bantuan baik dengan cara berteriak, menelepon, memberi tanda pertolongan (SOS) dan cara lainya. BERTERIAK : Memanggil orang disekitar lokasi kejadian agar membantu pertolongan atau disuruh mencari pertolongan lebih lanjut. Jika ada AED (Automatic External Defibrilation) maka suruh penolong lain untuk mengambil AED. MENELEPON : menghubungi pusat bantuan darurat (emergency call number) sesuai dengan nomor dilokasi / negara masing-masing. Seperti : 911, 118, 112, 113, 999, 000, 555 dan lain-lain. EMERGENCY SIGNAL : dengan membuat asap, kilauan cahaya, suar dan lain-lain jika lokasi ada di daerah terpencil.

D. Cek Nadi
Pengecekan nadi korban dilakukan untuk memastikan apakah jantung korban masih berdenyut atau tidak. Pada orang dewasa pengecekan nadi dilakukan pada nadi leher (karotis) dengan menggunakan 2 jari. Caranya letakkan 2 jari tangan pada jakun (tiroid) kemudian tarik ke arah samping sampai terasa ada lekukan rasakan apakah teraba atau tidak denyut nadi korban. Pada bayi pengecekan nadi dilakukan pada lengan atas bagian dalam. Dengan menggunakan 2 jari rasakan ada tidaknya denyut nadi pada lengan atas bagian dalam korban. Jika nadi tidak teraba berarti korban mengalami henti jantung, maka segera lakukan penekanan/kompresi pada dada korban. Jika nadi teraba berarti jantung masih berdenyut maka lanjutkan dengan pembukaan jalan napas dan pemeriksaan napas.

E. Kompresi Dada 
Jika korban tidak teraba nadinya berarti jantungnya berhenti berdenyut maka harus segera dilakukan penekanan / kompresi dada sebanyak 30 kali. CARANYA : posisi penolong sejajar dengan bahu korban. Letakan satu tumit tangan diatas tulang dada, lalu letakan tangan yang satu lagi diatas tangan yang sudah diletakan diatas tulang dada. Setelah lalu tekan dada korban denga menjaga siku tetap lurus. Tekan dada korban sampai kedalaman 1/3 dari ketebalan dada atau 3-5 cm / 1-2 inci (korban dewasa), 2-3 cm (pada anak), 1-2 cm (bayi).

F. Buka Jalan Napas
Setelah melakukan kompresi selanjutnya membuka jalan napas. Buka jalan napas dengan menengadahkan kepala korban. Pada korban trauma yang dicurigai mengalami patah tulang leher melakukan jalan napas cukup dengan mengangkat dagu korban.

G. Memberikan Napas Buatan
Jika korban masih teraba berdenyut nadinya maka perlu dilakukan pemeriksaan apakah masih bernapas atau tidak. Pemeriksaaan pernapasan dilakukan dengan Melihat ada tidaknya pergerakan dada (LOOK), mendengarkan suara napas (LISTEN) dan merasakan hembusan napas (FEEL).
Jika korban berdenyut jantungnya tetapi tidak bernapas maka hanya diberikan napas buatan saja sebanyak 12-20 kali per menit. Jika korban masih berdenyut jantungnya dan masih bernapas maka korban dimiringkan agar ketika muntah tidak terjadi aspirasi. Korban yang berhenti denyut jantungnya / tidak teraba nadi maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan pernapasan karena sudah pasti berhenti napasnya, penolong setelah melakukan kompresi dan membuka jalan napas langsung memberikan napas buatan sebanyak 2 kali.

H. Evaluasi
Evaluasi pada CPR dilakukan setiap 5 Siklus. (5 x 30 kompresi) + (5 x 2 napas buatan). Evaluasi pada pemberian napas buatan dilakukan setiap 2 menit.

Sumber : http://www.proemergency.com

Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan,
tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
Penyebab Penurunan Kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.
Mengukur Tingkat Kesadaran
Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang menunjukan adanya penurunan kesadaran.
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).
Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).
Penilaian kesadaran dengan GCS
Glasgow Coma Scale.Penilaian :
* Refleks Membuka Mata (E)
4 : membuka secara spontan
3 : membuka dengan rangsangan suara
2 : membuka dengan rangsangan nyeri
1 : tidak ada respon
* Refleks Verbal (V)
5 : orientasi baik
4 : kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan
3 : kata-kata baik tapi kalimat tidak baik
2 : kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang
1 : tidak ada respon
* Refleks Motorik (M)
6 : melakukan perintah dengan benar
5 : mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukan perintah dengan benar
4 : dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi.
3 : hanya dapat melakukan fleksi
2 : hanya dapat melakukan ekstensi
1 : tidak ada respon
cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan. Penderita yang sadar = compos mentis pasti GCSnya 15 (4-5-6), sedang penderita koma dalam, GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal, penulisannya X-5-6.Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal, penulisannya 4-X-6.Atau bila tetra parese sedang E dan V normal, penulisannya 4-5-X. GCS tidak bisa dipakai untuk menilai tingkat kesadaran pada anak berumur kurang dari 5 tahun. Atau jika ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
a. Skor 14-15 : compos mentis
b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent
d. Skor 8-10 : stupor
e. Skor < 5 : koma
Derajat Kesadaran
– Sadar : dapat berorientasi dan komunikasi
– Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara motorik / verbal kemudian terlelap lagi. Gelisah atau tenang.
– Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri, pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala.
– Semi Koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada yang menghindar (contoh menghindari tusukan).
– Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus.
Kualitas Kesadaran
– Compos mentis : bereaksi secara adekuat
– Abstensia drowsy / kesadaran tumpul : tidak tidur dan tidak begitu waspada. Perhatian terhadap sekeliling berkurang. Cenderung mengantuk.
– Bingung / confused : disorientasi terhadap tempat, orang dan waktu.
– Delirium : mental dan motorik kacau, ada halusinasi dan bergerak sesuai dengan kekacauan pikirannya.
– Apatis : tidak tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa.
Gangguan fungsi cerebral meliputi : gangguan komunikasi, gangguan intelektual, gangguan perilaku dan gangguan emosi.
Pengkajian position mental / kesadaran meliputi : GCS, orientasi (orang, tempat dan waktu), memori, interpretasi dan komunikasi.